Apakah bermakna, ketika hidupmu kosong tanpa doa?
Tiada sejengkalpun rasa takut akan iman yang direnggut dari
jiwa
Mengulang hari dalam balutan kepalsuan dunia
Terasing termakan kesendirian tanpa rasa
Apakah bermakna, ketika hidupmu kosong tanpa doa?
Tiada sejengkalpun rasa takut akan iman yang direnggut dari
jiwa
Mengulang hari dalam balutan kepalsuan dunia
Terasing termakan kesendirian tanpa rasa
Pada
suatu hari ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:
"Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini ... ?"
Jawabnya:
-"Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berfikir... !"
Maka
dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya
meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu
Abbas sebagai "kyahi ummat ini".
Sa'ad
bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini :-
Tak
seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih
banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas ... !
Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal
sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka
tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak
melampaui apa katanya!"
Kala itu fajar masih malu-malu untuk terjaga dari tidurnya sambil berselimutkan awan. Aku menatap dengan tajam sekelilingku. Menatap cahaya mentari yang mecoba menyelusup sela-sela kerumunan awan yang tak kunjung lepas darinya. Akupun mulai melangkahkan kaki di sisi pantai itu. Berjalan di tepi pantai merupakan favoritku. Setiap punya kesempatan ke pantai, tak akan ku lewatkan merasakan desiran ombak di bibir pantai, merasakan sejuknya hembusan angin, hingga pijakanku pada pasir. Ditemani hangatnya mentari pagi,,, sungguh indah.
Melepaskan penat sejenak dengan berimajinasi dibawah naungan langit biru nan
indah. Aku mulai menggoreskan huruf demi huruf di secarik kertas. Melukiskan
tinta-tinta puisi layaknya pelukis sejati. Membiarkan pena dan jari-jariku
menari indah dalam buaian syair memuja Tuhan.
Saking asyiknya berkutat dengan kertas dan penaku, tanpa sadar seorang
laki-laki tua menyapaku. Beliau bertanya "Hai nak, ku lihat engkau hampir
seminggu sekali datang ke pantai ini dan menulis sesuatu hingga pagi datang,
apakah yang membuatmu berlaku demikian?"
Suatu saat seorang pemuda, menatap kosong dan hampa masa depannya. Umurnya yang esok sudah genap seperempat abad. Ada sesuatu yang mengganjal dalam ulu hatinya beberapa bulan ini. Ya, apalagi kalau bukan kehadiran Sang bidadari pujaan hati yang kan menjadi pendamping hidupnya, yang kan menjaga kehormatan dirinya, menggenapkan setengah dinnya, menyuburkan semangat juangnya, dan melahirkan jundi-jundi yang menyejukkan mata dan penawar dahaga cintanya.
Terlebih, Sang Ibu sudah tak sabar menimang cucu, Tidak sampai disana, Berbagai tekanan saat berjumpa dengan Sahabat-sahabat sebayanya yang mayoritas sudah menikah dan menggendong anak seakan menjadi-jadi. kalimat klasik yang mereka tanyakan, “Gimana kabarnya Sahabatku , kapan menikah ?”
“Huh… itu lagi. ”Jawabnya lirih.
Bukan……. bukan karena ia tak mau, bukan pula karena tak mampu. Telah ia rancang persiapan menuju mahligai rumah tangga yang berkah sejak 5 tahun yang lalu. Tepatnya saat masih di tingkat 3 kuliahnya.
Setiap
ikhwan pasti mendambakan untuk segera menikah. Pun demikian dengan Pandi. Ia
ingin segera menikah di usianya yang menginjak 25 tahun. Memang menikah
bukanlah akhir dari perjalanan hidup, tapi memulai perjalanan baru dengannya.
Tak seperti cerita sinetron yang dengan mudahnya menggambarkan bahwasanya di
akhir cerita pernikahan menjadi suatu hal yang begitu membahagiakan. Bahagia
memang, Pandi sendiri melihat beberapa temannya yang sudah merasakannya, dan
mereka memang bahagia. Namun, tentu setiap kisah akan ada badai dan
gelombangnya. Mesti tak melulu bahagia. Tapi tetap saja, Pandi berharap untuk
segera menikah.