Kamis, 09 September 2021

Waktuku Tidaklah Banyak

Kala itu fajar masih malu-malu untuk terjaga dari tidurnya sambil berselimutkan awan. Aku menatap dengan tajam sekelilingku. Menatap cahaya mentari yang mecoba menyelusup sela-sela kerumunan awan yang tak kunjung lepas darinya. Akupun mulai melangkahkan kaki di sisi pantai itu. Berjalan di tepi pantai merupakan favoritku. Setiap punya kesempatan ke pantai, tak akan ku lewatkan merasakan desiran ombak di bibir pantai, merasakan sejuknya hembusan angin, hingga pijakanku pada pasir. Ditemani hangatnya mentari pagi,,, sungguh indah.

Melepaskan penat sejenak dengan berimajinasi dibawah naungan langit biru nan indah. Aku mulai menggoreskan huruf demi huruf di secarik kertas. Melukiskan tinta-tinta puisi layaknya pelukis sejati. Membiarkan pena dan jari-jariku menari indah dalam buaian syair memuja Tuhan.

Saking asyiknya berkutat dengan kertas dan penaku, tanpa sadar seorang laki-laki tua menyapaku. Beliau bertanya "Hai nak, ku lihat engkau hampir seminggu sekali datang ke pantai ini dan menulis sesuatu hingga pagi datang, apakah yang membuatmu berlaku demikian?"

Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dengan penuh kasih akupun menjawab, "Wahai bapak, tak sedikitpun aku melihat apa yang tercipta di dunia ini sia-sia. Hingga waktu yang tercipta untuk tiap makhluk-Nya, atau setiap jengkal dari ciptaan-Nya. Itu pun tak ada yang sia-sia. Karena ketidak sia-siaan itu, maka tak pantaslah aku yang mengaku hamba-Nya menyia-nyiakan apa yang telah diciptakan-Nya." Mendengar itu, sang bapakpun tersenyum haru. Akupun melanjutkan ceritaku. "Wahai bapak, karena titah Tuhanku, aku diturunkan ke dunia untuk menjadi pemimpin. Menegakkan agama yang yang dibawa Rasulnya, serta berbagi kasih sayang dengan sesama manusia. Aku datang kesini untuk berbagi kasih sayang, aku datang kesini untuk melihat ciptaan-Nya dan mensyukurinya, berbagi atas apa yang aku miliki."


Setelah bercerita, akupun berpamitan pada bapak itu....

"Apa yang saya lihat dan dengar hari ini, adalah suatu anugrah dari-Nya". Gumam sang bapak. Sambil terheran sang bapak menatap tajam kantung kresek yang dijinjing pemuda tadi. Si Bapakpun tidak berfikir panjang dan langsung bergegas pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, beliau terheran kembali karena di depan pintu ada kantong kresek yang biasa. Kantong kresek yang sama dengan yang dibawa oleh si pemuda. Kantong kresek berisikan bungkusan makanan, nasi, lengkap dengan lauk pauknya. Betapa tak kuasa bapak itu menahan tangis haru. Entah dari mana kalimat ini datang, tapi dalam hatinya bergumam "Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, kau kirimkan anugrah padaku berupa makanan yang nikmat lagi lezat. Kau kirimkan seorang pemuda yang begitu penuh kasih, mau berbagi untuk hamba-Mu yang lain. Karena hambamu ini tak sanggup menyambung hidup, tak setiap hari aku makan yang seperti ini, dan tak setiap hari pula aku bisa makan, sedangkan aku punya istri dan anak-anak yang harus aku cukupi kebutuhan sandang mereka. Padahal penghasilan dari kerjaku tak seberapa."

Secepat kilat sang bapakpun berlari kesana kemari mencari pemuda tadi. Namun tak kunjung ia temukan. Ternyata pemuda itulah yang setiap minggu mengantarkan makanan ke rumah sang bapak. Hingga bapak itu dan keluarganya tidak merasakan kekurangan yang teramat sangat.

Hari berganti hari, dari minggu ke minggu, sudah tiada lagi pemuda itu datang. Tapi kantung kresek tetap sampai ke rumahnya. Sang bapak mencarinya ke pinggir pantai, itu pun tak ia temukan sosok pemuda yang dia temui.

Sungguh terkejut sang bapak ketika mendengar kisah seorang pemuda yang mengidap kanker, meninggal kemarin dalam buaian kasih sayang-Nya. Pemuda itu adalah yang dia temui kemarin. Seorang pemuda yang begitu halus budinya, santun dan penuh kasih sayang tapi harus pergi secepat itu dari dunia ini. Dalam kesedihannya, sang bapak pun dihampiri oleh seorang laki-laki hampir seumurannya. Dia pun berkata, "Bapak, janganlah bersedih, karena setiap yang bernyawa pasti akan mati. Dia adalah anak saya, sudah 6 bulan terakhir mengidap kanker. Semenjak dia tahu mengenai penyakitnya, dia sering pergi ke pantai dan membuat puisi. Hingga di akhir hayatnya dia berpesan memberikan secarik kertas ini untuk seorang bapak yang dia temui di pantai, dan mempekerjakannya di rumah kami." Bapak itupun diberi secarik kertas yang diberikan oleh ayah sang pemuda. Bapak itu kembali menangis haru membaca untaian kalimat dari sang pemuda. Isinya adalah....

(“Siapa yang menjaminmu hidup sampai setelah waktu zuhur?” pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang pemuda kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz, tokoh pemimpin bergelar khulafa rasyidin yang kelima. Ketika itu, khalifah yang terkenal keadilannya itu sangat tersentak dengan perkataan sang pemuda. Terlebih saat itu, ia tengah merebahkan diri beristirahat usai menguburkan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Malik.
Tapi baru saja ia merebahkan badannya, seorang pemuda berusia tujuh belasan tahun datang menghampirinya dan mengatakan, “Apa yang ingin engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?” Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Biarkan aku tidur barang sejenak. Aku sangat lelah dan capai sehingga nyaris tak ada kekuatan yang tersisa. “Namun pemuda itu tampak tak puas dengan jawaban tersebut. Ia bertanya lagi, “Apakah engkau akan tidur sebelum mengembalikan barang yang diambil secara paksa kepada pemiliknya, wahai Amirul Mukminin? Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Jika tiba waktu zuhur, saya bersama orang-orang akan mengembalikan barang-barang tersebut kepada pemiliknya.” Jawaban itulah yang kemudian ditanggapi oleh sang pemuda, “Siapa yang menjaminmu hidup sampai setelah zuhur, wahai Amirul Mukminun?”
Pemuda itu bernama Abdul Aziz. Ia, putera Amirul Mukminun sendiri, Umar bin Abdul Aziz.

Wahai bapa, tak ingin ku sia-siakan sisa hidupku untuk sesuatu yang tak bermanfaat. Karena aku tak tahu kapan malaikat pencabut nyawa akan menghampiriku dan mengambil nyawaku.

Saat itu aku hampir putus asa, hampir tak punya arah tujuan, hingga sempat terlintas di fikiranku utnuk mengakhiri hidupku dengan bunuh diri. Sungguh aku tak sanggup menahan beban seberat ini. Mengetahui aku mengidap kanker ganas dan tak mungkin disembuhkan. Hingga suatu hari aku berjalan ke tepi pantai, dan mulai mengisi hariku dengan menulis syair, puisi atau sajak. Saat adzan Maghrib berkumandang, aku melihat sesosok bapak yang begitu pucat mukanya, sayu tapi bercahaya. Seolah aku tak percaya melihat ada sosok seperti itu. Akhirnya aku menghampiri mesjid hampir berpapasan dengannya. Akupun mengambil wudlu dan shalat berjamaah bersamanya. Aku tak berani menyapa karena aku malu. Akhirnya sang bapakpun naik ke atas mimbar dan sedikit menyampaikan ceramah.
Ceramah yang beliau sampaikan adalah kisah Umar bin Abdul Aziz.

Sejenak saat itu aku berfikir, bahwa jangan sampai hidupku sia-sia bahkan hanya untuk sejenak. Aku mulai berfikir untuk melakukan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi orang lain di sisa hidupku. Aku pun mengikuti bapak itu ke rumahnya karena bermaksud mengucapkan terima kasih atas ceramah singkat yang beliau sampaikan. Sungguh terkejut ketika aku melihat rumahnya hanya berupa gubuk reyot yang mungkin hampir rubuh. Lalu aku bertemu babak-bapak lainnya dan bertanya perihal keadaan bapak yang memberikan ceramah tadi.

Sungguh aku tak kuasa mendengar cerita itu. Seorang bapak yang bekerja keras demi keluarganya untuk sesuap nasi, namun hidupnya tetap tidak berkecukupan. Akhirnya aku putuskan untuk memberi makanan setiap minggu ke rumahnya. Meski itu masih kurang. Akupun menyampaikan kepada ayahku untuk mempekerjakan beliau di rumah karena kebetulan sedang kekurangan pekerja.

Sepertinya waktuku tak cukup lagi, aku sudah tak kuat berjalan, dan kondisi tubuhku kian melemah. Aku tak datang lagi ke pantai, tapi aku meminta ayah tetap mengirimkan makanan ke rumah bapak.

Sungguh, terima kasihku pada bapak, yang telah membukakan pintu Hidayah-Nya lewat ceramah bapak. Di akhir waktu ini, aku bisa merasakan sedikit kebahagiaan atas penghambaanku pada Tuhanku. Aku minta maaf karena tak sempat menucapkan terima kasih, tapi mingkin lewat surat ini, aku bisa sampaikan. Terima kasih pak, atas segalanya.)

"Inalillahi wa innaillaihi raji'un" Si bapak pun kembali menangis haru dan berterima kasih kepada Allah dan pemuda baik hati yang telah menolongnya. Semoga dia diterima di sisi-Nya.

Wahai pemuda-pemudi, jangan kau sia-siakan waktumu. Jangan kau biarkan kau isi dengan hal yang tak bermanfaat, karena ajalmu entah kapan kan menjemput. Bersyukurlah dan beribadahlah.... Hidupmu di dunia ini hanya untuk bekalmu di akhirat sana.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini, diharapkan tidak memakai anonymous supaya lebih mengakrabkan (pilihlah profil Nama/URL dengan menggunakan nama samaran atau nama panggilan anda bila tidak memiliki akun).